
PARADOKS OTT 3 WARTAWAN DI DELI SERDANG, SKENARIO SIAPA
Deli Serdang, Brantas86.com-Mendung gelap menyelimuti langit dunia pendidikan dan dunia jurnalis di Kabupaten Deli Serdang meski anomali cuaca di Medan dan Lubuk Pakam sekitarnya mengalami suhu terik matahari yang sangat panas, tiba-tiba hujan deras dan angin puting beliung. Tensi para awak media mendadak tinggi bagaikan anak Balita yang terkena demam tinggi yang berujung ke Step karena 2 orang awak media dan 1 orang anggota LSM ditangkap pihak Polsek Beringin, Sementara dunia pendidikan bersuka cita bak menyambut kelahiran bayi yang sehat sehingga harus mengirimkan papan bunga ke Mapolsek Beringin dan Mapolres Deli Serdang, menyanjung kinerja kepolisian atas tegaknya supremasi hukum.
Bermula dari SDN 101928 Rantau Panjang Kec. Pantai Labu dengan Kepala Sekolahnya Muhammad Saleh yang ditengarai oleh awak media setelah melalui investigasi telah melakukan tindak pidana pungli terhadap siswa kelas VI A dan VI B.
Despita Munthe (44), Raiyah (54), dan Amri (46), ketiga orang ini akhirnya harus berhadapan dengan persoalan hukum karena terkena skenario OTT pada 29 Mei 2025.
Bagaikan konser orkestra yang memainkan musik simfoni Beethoven, sebagian media secara serempak memberitakan “wartawan gadungan yang sedang memeras”, dari pihak kepolisian mengatakan mereka tak terdaftar di Dewan Pers sehingga layak disebut sebagai wartawan gadungan, di sisi yang lain muncul rasa solidaritas“. ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap peran serta media sebagai alat sosial kontrol, media kami terdaftar di lembaga negara sekelas kementerian dengan segala persyaratan dan aturan”.
Kelak publik akan melihat secara terang benderang fakta yang muncul ke permukaan lewat bukti-bukti yang ada, mengapa kepala sekolah harus takut jika tak terbukti melakukan pungli? Jika benar berita sudah tayang, mengapa harus take down berita “404 Not Found”,
Saat wartawan tidak melakukan konfirmasi ke pihak sekolah tentu sudah dapat menjadi delik aduan dan somasi atas pencemaran nama baik, fitnah dan hoax atas pemberitaan. Ini adalah cara smart yang harus dilakukan oleh pihak sekolah daripada harus memainkan Opera bertajuk Operasi Tangkap Tangan.
Nilai uang 350 ribu per orang atas take down berita tak sebanding dengan dampak hukum yang harus diterima awak media yang bermasalah. Jika persoalan dibalik, kepala sekolah yang melakukan tindakan penyuapan harusnya dijerat juga dengan UU TIPIKOR Pasal 15. Kemudian timbul debat lagi, “enak kali ngomongnya, darimana dapat dikatakan penyuapan”?
Secara alami, bila sudah menjadi pemberitaan berarti ada sebuah nilai tawar, jika tak terbukti laporkan kembali si wartawan bila tak mematuhi kode etik ke aparat penegak hukum, itu instrumen sebagai negara hukum.
Tidak terdaftarnya ratusan ribu awak media yang berada di NKRI pada Dewan Pers bukan berarti awak medianya gadungan atau abal-abal. Wartawan itu bernaung di sebuah badan hukum industri pemberitaan yang sah dan bayar pajak,
Nama wartawan harus pun tercantum dalam box redaksi.
Dewan Pers hanya lembaga Independen yang berusaha memajukan kompetensi wartawan, bagaimana cara menulis, menyiarkan dan memberitakan yang baik dan benar. Terdaftar di Dewan Pers bukan menjamin pemenuhan kebutuhan hidup si wartawan dan industri pers tapi dapat juga dijadikan tempat mencari kehidupan dan penghidupan.
Tak selamanya juga individu yang memegang KTA media berjalan lurus demikian juga dengan pihak sekolah yang diberi wewenang mengelola dana negara terutama lewat dana BOS, bukan berarti sudah tak mau mengambil lagi. Artinya kemungkinan penyelewengan itu tetap ada. Kecuali “ jika ayam sudah tak mau makan jagung lagi,(red)